fbpx

Guru, Mengajar Apa atau Siapa?

guru
inilah 7 aspek kompetensi pedagogi dosen

Saat ini para guru beruntung sedang berlomba-lomba mengumpulkan portofolio. Hal itu dilakukan untuk memperoleh sertifikasi demi tunjangan profesi dan fungsional. Berbagai akses-keikutsertaan dalam program pelatihan hanya demi sertifikat, manipulasi berkas dan kolusi antara pemilik portofolio dengan penilai amat menodai profesi guru bahkan melemparkan guru pada titik nadir dalam perjalanan profesinya.

Dalam refleksi menyambut Hari Guru setiap tanggal 25 November, yang mana peringatannya pada tahun ini menitikberatkan kepada penguatan pendidikan karakter mengingatkan kembali penulis pada guru lintas zaman Bpk. Haji Sholeh (77) dan Bpk. Muhammad Bakir (55), yang inspiratif sebagai sosok guru yang pantang menyerah, tulus ikhlas, terus berkarya dan berprestasi hebat.

Kedua sosok guru ini mengajar dan mendidik, sebagai bagian perjalanan dan panggilan hidup. Mereka memaknai tiap tindakan dan ucapan sebagai bagian perjalanan untuk melayani anak manusia dalam sejarah peradaban. Para guru ini senantiasa bersinar di tengah gambaran suram dunia guru saat ini.

Perjalanan Spiritual

Dalam bukunya, The Courage to Teach, Parker Palmer (2003) mengatakan, menjadi guru bukan sekedar melakukan pekerjaan biasa tetapi juga memenuhi panggilan hati dalam melakukan perjalanan spiritual. Palmer juga berpendapat, dalam perjalanan profesinya, seorang guru terus mengaitkan tiga hal yakni diri sendiri dengan anak didik dan bidang pengetahuan/keterampilan yang diampunya.

Yang pertama, proses penemuan diri seorang guru dalam perjalanan panggilannya adalah proses penemuan dan pengukuhan identitas serta integritas. Setiap guru seharusnya menggali diri sendiri, menemukan identitasnya sendiri dan mengembangkan gaya serta metode dan teknik mengajar yang sesuai dengan diri untuk menyinarkan aura terbaiknya yang bisa menerangi peserta didik.

Penemuan dan kesadaran diri ini akan menjadi modal bagi guru untuk mempertahankan integritasnya dan menjadi diri sendiri secara utuh, sesuai harkat kemanusiaannya. Sayang, dalam realitas perjalanan profesi guru, terdapat banyak hambatan termasuk dari budaya birokrasi dan sistem pendidikan itu sendiri yang menghalangi panggilan guru untuk mempertahankan identitas dan integritasnya.

Tuntutan untuk berperan sebagai aktor dalam proses pembudayaan, transformasi nilai-nilai dan rekonstruksi masyarakat, justru sebagaian guru malah melakukan pelanggaran etika sebagai pendidik dengan memberi les privat bagi peserta didik bahkan membocorkan soal-soal ulanganya sendiri, memfasilitasi kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional, ikut menjual buku-buku ajar dari penerbit yang memberi komisi memuaskan, atau ikut terlibat sebagai aksi yang menutup mulut atas beberapa tindakan manipulasi dan korupsi oleh birokrasi pendidikan atau pengelola sekolah.

Dua hal berikut yang terkait perjalanan seorang guru adalah anak didik dan mata pelajaran yang diampu. Satu pertanyaan yang bisa diajukan kepada para guru adalah “Apakah anda mengajar Bahasa Inggris/Matematika/IPS/IPA atau apakah anda mengajar anak?” Umumnya, direspon langsung oleh para guru dengan menjawab “saya mengajar keduanya”. Jawaban ini nampak sederhana dan benar. Namun, refleksi lebih dalam atas praksis pengajaran menunjukkan mengajar keduanya tidak selalu (bisa) dilakukan.

Dalam tingkat kebijakan dan praksis pendidikan ada konsensus, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar kecenderungan mengajar bidang disiplin dari peserta didik. Guru taman kanak-kanak dan sekolah dasar dianggap lebih generalis dan lebih memahami psikologi anak dibandingkan dengan guru-guru sekolah menengah dan perguruan tinggi yang lebih spesialis.

Identitas dan Integritas Guru

Dalam praksis pendidikan formal, biasanya guru pada jenjang lebih tinggi mendapat penghargaan, baik materi maupun prestise, lebih tinggi dari pada guru TK dan SD. Banyak sekolah memberi gaji lebih besar kepada guru SMP dan SMA dibandingkan dengan guru TK maupun SD. Sikap ini dilandasi asumsi, apa yang diajarkan lebih penting daripada siapa yang diajar. Padahal, pendidikan dasar memberi landasan bukan hanya bagi pembentukan karakter tetapi juga pengembangan kapasitas intelektual dan keterampilan seorang anak.

Pemilihan mata pelajaran yang diampu, bisa dilakukan sebelum atau dalam masa jabatan dan sepatutnya dilakukan dalam kesadaran dan keterkaitan dengan identitas dan integritas setiap guru. Dalam menjalankan profesinya, ada proses penyatuan diri dengan bidang yang diampu.

The Messenger is The Message

Salah satu indikator proses penyatuan diri dengan bidang ini adalah kecintaan terhadap apa yang diajarkan, termasuk kaidah-kaidah dalam disiplin ilmu. Juga keyakinan, apa yang diajarkan akan membawa perubahan dan kebaikan dalam kehidupan peserta didik sebagaimana pengetahuan, keterampilan dan nilai yang terkandung dalam bidang yang diampu membawa kebaikan bagi sang guru.

Selanjutnya, untuk mengajar keduanya, mata pelajaran peserta didik, seorang guru tidak berhenti hanya pada peran sebagai The Messenger Who Delivers The Message. Intensitas dan integritas seorang guru memungkinkan untuk menyapa tiap pribadi peserta didik, menyentuh hati dan membebaskan untuk menemukan guru dari dalam diri sendiri.

Parker Palmer menyebut The Teacher Within. Implikasi pemahaman ini adalah seorang guru sejati dipanggil untuk membebaskan peserta didik bukan hanya dari ketidaktahuan tetapi juga membebaskan peserta didik dari ketergantungan kepada guru. Seorang guru dipanggil untuk membebsakan peserta didik dari ketidaksadaran bahwa sebenarnya peserta didik mempunyai guru sendiri yakni yang ada di dalam diri sendiri, yang terus membimbing dan memimpin sepanjang hayat. (Jakfar Mustofa.S.Si,.M.Pd,.AIFO; Penulis merupakan Dosen Univ. PGRI Palembang).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RELATED POST

about

Get Started

Hubungi kami

Jl. Rajawali, Gg. Elang 6, No.2 Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, D.I.Yogyakarta 55581

Email : [email protected]

Telpon : 081362311132