fbpx

Burhanuddin Muhtadi: Menjadi Dosen untuk Sebuah Pengabdian

menjadi dosen
Burhanuddin Muhtadi, MA., Ph.D., dosen FISIP Univeritas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. (Foto: Burhanudiin Muhtadi)

Burhanuddin Muhtadi, MA., Ph.D. mengakui bahwa profesinya sebagai dosen adalah untuk sebuah pegabdian. Burhan, sapaan karib dosen Universitas Islam Negergi (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta ini sudah sejak lama mengagumi dunia dosen. Baginya berprofesi dosen sama halnya menjadi manusia pembelajar. Pengalaman pertamanya menjadi dosen bermula sejak menamatkan pendidikan sarjana dari Institut Agama Islam (IAIN) Syarif Hidayatullah (sekarang UIN) pada 2002, meski sebagai asisten dosen.

Perkenalannya dengan dunia dosen berawal dari tawaran Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah kala itu. Saat bersekolah sarjana, Burhan adalah salah satu peneliti PPIM yang merupakan lulusan terbaik IAIN Syarif Hidayatullah. Mendapat tawaran, Burhan langsung mengiyakan tanpa ragu. Dia menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Sosiologi di Fakultas Dakwah. Pada 2004, Burhan ‘diangkat’ menjadi dosen tidak tetap (DTT).

”Ketika itu, menjadi dosen, apalagi DTT tak cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di luar kegiatan sebagai dosen, saya bergabung bersama Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan menulis beberapa artikel di media mainstream tanah air. Meski begitu, saya tak meninggalkan kegiatan mengajar,” ungkapnya kepada duniadosen.com saat ditemui di salah hotel di Yogyakarta, Sabtu (19/1) kemarin.

Siklus tersebut ia lakoni sampai mendapat beasiswa pendidikan jenjang master Australian Development Scholarship (ADS) di Australia National University (ANU). Saat itu, Burhan masih menjabat sebagai dosen. Setelah berhasil mendapatkan gelar master tahun 2008, Burhan memutuskan untuk kembali ke UIN Syarif Hidayatullah untuk kembali menjadi dosen.

Kembali ke UIN

Sebenarnya, Burhan mudah saja mengajar di kampus beken luar negeri atau memilih profesi lain karena pengalamannya, dibanding harus kembali ke UIN Syarif Hidayatullah sebagai DTT. Namun, Burhan menganggap kembalinya ke UIN Syarif Hidayatullah adalah bentuk balas budi kepada almamater yang telah membesarkan namanya. Baginya, menjadi dosen adalah sebuah pengabdian.

Pada 2010, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah berdiri. Saat itu, fakultas baru tersebut membutuhkan banyak dosen. Hal ini merupakan angin segar bagi Burhan untuk ‘menaikkan derajat’ sebagai dosen. Pada saat itu pula, Burhan mendaftar tes CPNS dan diterima sebagai dosen tetap UIN Syarif Hidayatullah per tahun 2011.

Burhan memandang aktivitasnya sebagai dosen adalah proses mendisiplinkan diri dalam belajar, terutama dalam membaca buku. Dengan menjadi dosen, Burhan merasa ‘dipaksa’ lebih giat membaca buku. Selain itu, menjadi dosen juga membuatnya bisa melihat anak muda yang memiliki latar belakang pesantren seperti dia, mempunyai semangat tinggi maju.

”Kalau ketemu mahasiswa di UIN kan seringnya ketemu orang kecil yang punya mmpi besar dan mereka juga punya latar belakang pesantren yang punya mimpi untuk memiliki mobilitas vertikal, seperti saya. Saya merasa harus meluangkan waktu untuk mengajar mereka,” tegas pria kelahiran Rembang tersebut.

Sebagai dosen, Burhan tak ingin sekadar mengajar dan menggugurkan kewajiban tridharma. Burhan ingin perannya sebagai dosen memiliki nilai yang bisa terus ia perjuangkan. Burhan menyebut nilai yang ia dapat adalah nilai psikologis berupa kepuasan batin. ”Bukan secara finansial,” ujarnya seraya tertawa.

Ia melanjutkan, ketika ada mahasiswa merasa mendapat inspirasi dari Burhan sebagai dosennya, itu yang membuatnya bangga dan tak mau melepas aktivitas sebagai dosen. Selain itu, dosen yang juga terlibat aktif di Lembaga Survei Indikator tersebut memiliki pengalaman unik ketika menjadi dosen UIN Syarif Hidayatullah.

”Sekitar 2008 sampai 2010 banyak yang mengira saya dari UI (Universitas Indonesia-red), bahkan ada dari media mengira saya dari UI karena mereka menganggap UIN tidak representatif jika berbicara terkait politik. Karna multiple atribution yang saya sandang hal tersebut bisa terjadi,” ungkapnya.

Burhanuddin Muhtadi, MA., Ph.D., ketika menjadi pembicara dalam Konferensi Indonesia Update di Australia National University. (Foto: Burhanudiin Muhtadi)

Tantangan Administratif Dosen Indonesia

Menurut Burhan, saat ini dosen di Indonesia mengalami tantangan cukup berat, terutama terkait aspek administrasi. Dosen di Indonesia masih banyak yang terlalu fokus melaksanakan kegiatan bersifat administratif. Hal inilah yang menurut Burhan menghilangkan substansi tugas dosen dan berimbas pada penelitian yang alakadarnya.

”Dosen di tempat kita mengalami proses birokratisasi akademik. Maka, penelitianpun mengalami birokratisasi yang mengakibatkan mereka sulit mendapat dana penelitian karena selain terbatas jumlahnya, penelitian lebih banyak bersifat administratif dan mengangungkan laporan saja tanpa fokus pada substansinya sendiri,” sesal dosen kelahiran 15 Desember 1977 tersebut.

Burhan membandingkan kondisi tersebut dengan beberapa negara misalnya, Australia, Amerika Serikat, dan Singapura yang lebih luwes ihwal administrasi dosen. Di negara-negara tersebut, dosen yang berhasil memuat tulisan bagus dan jurnal bermutu akan mendapat keringanan tugas mengajar karena dianggap sebagai aset kampus dalam bidang penelitian.

”Kalau di Indonesia kan nggak seperti itu. Dosen terjebak pada rutinitas mengajar sekadar menggugurkan kewajiban. Riset juga hanya sekadar rutinitas tetapi tidak didorong untuk menelurkan riset bermutu karena iklim akademik belum terbentuk. Pun, anggarannya juga kurang memadai. Padahal riset yang ‘serius’ itu butuh dana lumayan besar, apalagi untuk riset cross national studies,” lanjut alumni S3 ANU tersebut.

Selain tantangan-tantangan administratif, Burhan juga menyoroti masih banyaknya dosen yang memiliki upah sangat sedikit secara struktural, terutama DTT. Burhan melanjutkan bahwa masih banyak dosen yang belum memiliki kemudahan akses kepada data dan jurnal yang bermutu. ”Makanya iklim akademik sulit terwujud,” katanya.

Saat ini, selain sibuk dengan kegiatan di kampus, Burhan juga aktif di Lembaga Survei Indikator. Pun, tak jarang ia diundang ke berbagai media untuk memberikan opininya terkait isu politik. Belum lagi dengan kesibukannya sebagai suami sekaligus ayah di ranah domestik. Tak mudah membagi waktu dalam berbagai macam kegiatan seperti itu.

Mengajar di UIN Seraya ‘Pulang’

Menurut Burhan, dalam kehidupan mustahil melakukan semuanya dalam satu waktu. Pada titik tertentu, harus ada yang dikorbankan. Burhan merasa beruntung memiliki keluarga yang memahami kesibukannya sebagai akademisi dan pengamat politik yang seringkali meninggalkan keluarga untuk bekerja.

Uniknya, Burhan menganggap mengajar di UIN Syarif Hidayatullah ‘menyelamatkan’ waktunya bersama keluarga. ”Disamping kesibukan saya ke berbagai daerah, mengajar sebetulnya salah satu alasan saya untuk pulang ke rumah karena kebetulan tempat tinggal saya dekat dengan kampus UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat, Tangerang Selatan,” ungkap Burhan sembari tersenyum.

Kaitannya dalam penulisan buku, dosen yang pernah mengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina Jakarta tersebut baru saja merilis buku berkat kolaborasinya bersama akademisi dan penggiat pemilu berjudul Pembiayaan Pemilu di Indonesia (2018).

Salah satu buku kolaboratif Burhanuddin Muhtadi Berjudul ‘Pembiayaan Pemilu di Indonesia (2018)’ (Foto: Burhanudiin Muhtadi)

Tak hanya itu, disertasi Burhan ketika berhasil menyelesaikan PhD dari Departemen Politik dan Perubahan Sosial Australia National University berjudul ‘Buying Vote in Indonesia’ sebentar lagi diterbitkan oleh Palgrave Macmillan menjadi buku yang berjudul ‘Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery’. ”Buku tersebut akan diterbitkan sekitar April 2019,” jelasnya.

Pada awalnya, Burhan gemar menulis karena tuntutan kampus dimana dosen wajib menerbitkan tulisan di Scopus, Sinta, dan sejenisnya. Dari situ, Burhan makin ketagihan dalam menulis. Saat ini, Burhan mengaku lebih fokus menulis buku berbahasa Inggris. ”Agar bisa dinikmati lebih banyak orang di luar negeri,” terang penulis buku Dilema PKS (2012) tersebut.

Ke depannya, Burhan ingin terus menekuni bidang akademik sebagai kegiatan utamanya. Bagaimanapun juga, mengajar di perguruan tinggi merupakan sebuah pengabdian baginya. Menurut Burhan, saat ini ia tak lagi ngoyo dalam mengejar sesuatu karena dia merasa sudah menikmati semuanya.

Bagi Burhan, sukses adalah ketika seseorang mengerjakan sesuatu yang menjadi hobi, namun di sisi lain kegiatan yang dikerjakan tersebut menghasilkan sesuatu yang mencukupi kebutuhan. ”Saya merasa sudah melakukannya. Saya juga teringat petuah orang tua untuk selalu qonaah (merasa cukup) dan selalu bersyukur. Maka, ambisius itu tidak boleh,” pungkas dosen yang hobi naik gunung tersebut. (duniadosen.com/az)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RELATED POST

about

Get Started

Hubungi kami

Jl. Rajawali, Gg. Elang 6, No.2 Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, D.I.Yogyakarta 55581

Email : [email protected]

Telpon : 081362311132