fbpx

Tahun 2020, Dana Riset di Indonesia Masih 0,25 Persen dari PDB

dana riset
Ilustrasi. Seseorang tengah melakukan penelitian di laboratorium. (Sumber Foto: Media Keuangan)

Jakarta –  Dana riset pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia baru menyentuh angka 0,25 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Hal itu diungkapkan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bambang Brodjonegoro dalam Rakornas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) Tahun 2020 di Gedung Graha Widya Bakti, Puspitek, Serpong, Tangerang Selatan, Kamis (30/1/2020) kemarin.

Bambang menjelaskan, pendanaan bank pemerintah di Indonesia untuk riset masih diangka 0,25 persen dari PDB. Adapun sumber dana dari jumlah tersebut, 84 persen di antaranya berasal dari anggaran pemerintah dan hanya 8 persennya yang berasal dari industri.

“Namun anggaran pemerintah ini tersebar pada berbagai unit Litbang, Kementerian dan Lembaga. Sehingga memungkinkan terjadinya duplikasi dan in-efisiensi,” ungkap Bambang dilansir dari news.okezone.com.

Ia melanjutkan, sebagai pembandingnya, dana penelitian di tiga kekuatan ekonomi teratas dunia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang menggelontorkan untuk dana riset sebesar lebih dari 2 persen dari total PBD. Tentu angka tersebut jauh lebih tinggi di banding anggaran untuk dana riset di Indonesia yang hanya 0,25 persen.  Angka tersebut juga lebih rendah dari negara tetangga misalnya, Vietnam 0,44 persen, Thailand 0,78 persen, dan Malaysia 1,3 persen.

Padahal, riset dan penelitian ilmu pengetahuan masuk dalam agenda jangka menengah dan panjang pemerintah Indonesia. Hal itu bertujuan untuk mewujudkan visi Indonesia sebagai ekonomi maju pada tahun 2045 mendatang.

Seperti himbauan presiden RI Joko Widodo yang menekankan pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mendukung penilitian dan inovasi. Karena serangkaian itu menjadi faktor kunci pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Menurut Wakil Duta Besar Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia, Allaster Cox mengatakan bahwa Australia senang melihat komitmen Pemenrintah Indonesia untuk riset dan pengembangan.

Baginya, komitmen itu terlihat dari adanya Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Dana Abadi Penelitian.

“Reformasi ini penting untuk transisi Indonesia ke ekonomi berbasis pengetahuan dengan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh transfer dan produk iptek,” Kata Cox dalam sesi fokus “Penelitian:Sumber Pertumbuhan Ekonomi” pada Indonesia Data and Economic Conference (IDE Katadata 2020).

Selanjutnya, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti mengungkapkan, Investasi di bidang riset dan pengembangan merupakan pendorong penting bagi pertumbuhan ekonomi.

Sehingga, dukungan untuk penelitian dan inovasi dalam kebijakan pembangunan nasional esensial berguna untuk meningkatkan produktivitas dan menciptakan nilai tambah.

Dalam sesi fokus ini pihaknya berharap, pemerintah maupun industry bersama mendukung pengembangan riset dan inovasi sebagai agenda bersama. Namun, tetap harus menitik beratkan pada aspek sosial dan lingkungan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Keuntungan Jika Dana Riset Dianggarkan Lebih Besar

dana riset
Ilustrasi. Minimnya dana riset ilmiah akan berdampak pada kondisi ekonomi suatu negara. (Sumber Gambar: healthcareinamerica.us)

Pada Juli 2019 Pemerintah Indonesia mengumumkan dana riset abadi senilai Rp 990 miliar. Langkah tersebut dinilai penting guna meningkatkan investasi di bidang riset. Juga sekaligus upaya dalam meningkatkan ekosistem riset dan mendukung pemanfaatan riset dalam proses penyusunan kebijakan.

Charge d’Affaires Kedutaan Australia untuk Indonesia, Allaster Cox mengungkapkan peningkatan investasi di bidang riset akan memberikan keuntungan dalam bidang ekonomi dan sosial. Pasalnya investasi di bidang riset berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan efektivitas dari kebijakan publik.

“Program pembangunan kami fokus mendukung penggunaan riset dan bukti dalam proses penyusunan kebijakan ekonomi dan sosial, termasuk melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga think tank, universitas maupun organisasi sosial di Indonesia,” ujar Cox dikutip dari laman suara.com.

Menurut Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Teguh Dartanto menyebut negara yang tidak mengembangkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologinya akan tertinggal. Karena ilmu pengetahuan tidak bisa terjadi secara instan. Perlu adanya proses panjang dan berkesinambungan yang membutuhkan sumber daya manusia serta finansial yang mencukupi.

“Pendanaan riset yang mencukupi dan berkelanjutan, budaya akademik dan perangai ilmiah masyarakat merupakan syarat yang diperlukan bagi pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Teguh.

Teguh menambahkan, ada upaya lain yaitu pengembangan Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) sebagai rujukan prioritas riset di Indonesia dan adanya Undang-undang tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) yang pada tahun lalu disahkan.

Undang-undang tersebut mencantumkan pengembangan Badan Riset dan Inovasi Nasional yang bertugas mengkoordinasikan riset kebijakan secara lebih baik.

Dilansir dari kemenkeu.go.id Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan pemerintah terus meningkatkan anggaran dana riset menuju jumlah ideal. Salah satunya melalui Dana Abadi Riset yang dianggarkan dalam APBN atau #UangKita.

Sri Mulyani menyebut salah satu faktor dana riset kurang berdampak adalah karena dana riset selama ini tersebar di 52 Kementerian/Lembaga yang memiliki kegiatan penelitian dan pengembangan (Litbang). Selain terfragmentasi, penggunaan anggaran riset yang benar-benar didedikasikan untuk kegiatan riset semakin terbatas.

Ia menekankan, pentingnya pemanfaatan dana riset secara optimal agar dapat dimanfaatkan untuk mengatasi sebuah permasalahan. “Jika dana riset dikelola oleh Kementerian/Lembaga yang mindsetnya hanya birokratis dan bukan dalam rangka menyelesaikan masalah atau meng-address suatu isu, maka anggaran riset yang besar tidak mencerminkan kemampuan dan kualitas untuk bisa menghasilkan riset,” katanya.

Menkeu menekankan, alokasi anggaran riset harus memperhatikan beberapa hal. Yaitu harus bisa terukur, baik hasilnya, tema prioritasnya maupun akuntabilitasnya.

Senada dengan Menkeu, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemenristek/BRIN, Muhammad Dimyati mengungkap sejumlah persoalan yang berhasil dipetakan Kemenristek/BRIN terkait pengembangan riset. Selain soal anggaran dan pengelolaannya, terdapat beberapa tantangan lainnya, yaitu SDM dan perangkat infrastruktur penelitiannya.

Kedua, banyak hasil penelitian yang tidak sejalan dengan kebutuhan industry. Dampaknya hasil penelitian tidak pernah bisa dihilirkan menjadi produk yang bisa dimanfaatkan masyarakat.

“Dari sekian banyak institusi yang melakukan riset, tidak jarang riset yang dihasilkan saling bertumpang tindih. Bahkan terkadang rset itu betul-betul copy paste dengan riset yang diadakan di Litbang Kementerian/Lembaga. Jadi tidak satu framework,” imbuhnya.

Referensi:

news.okezone.com, suara.com, kemenkeu.go.id

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RELATED POST

about

Get Started

Hubungi kami

Jl. Rajawali, Gg. Elang 6, No.2 Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, D.I.Yogyakarta 55581

Email : [email protected]

Telpon : 081362311132