fbpx

Gagal Jadi Dokter Tapi Sukses Raih Gelar Doktor Pariwisata, Ini Kisah Ani Wijayanti

doktor pariwisata
Dr. Ani Wijayanti, M.M., M.Par. CHE foto bersama Rene Wildemans saat penyerahan kenang-kenangan kerjasama BSI dengan PUM Netherland Senior Expert. (doc. Ani)

Sejak kecil Dr. Ani Wijayanti, M.M., M.Par. CHE memang punya kesukaan yang unik. Yaitu suka sekolah. Ketika belum memasuki usia sekolah, Ani pun selalu iri kepada kakaknya yang lebih dulu sekolah. Dan ketika lulus SMA kakaknya pun enggan melanjutkan perguruan tinggi dan lebih memilih berwirausaha. Berbeda dengan Ani yang bertekad sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Memiliki cita-cita dokter itulah menjadi salah satu tekad Ani untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Memang pada akhirnya Ani tak meraih cita-citanya, tapi mampu sekolah tinggi hingga meraih gelar doktor pariwisata.

Semenjak menempuh pendidikan jenjang sekolah menengah, Ani ingin sekali menjadi dokter. Maka, ia memutuskan mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam semasa SMA di Yogyakarta. Tapi usai lulus dari SMA 4 Yogyakarta, Ani melanjutkan pendidikan di D3 Perhotelan Politeknik Akademi Pariwisata Indonesia (API) Yogyakarta dan lulus pada 1999.

Setelah itu, Ani bekerja sebagai pelayan restoran selama dua tahun di Hotel Inna Garuda Yogyakarta (sekarang Grand Inna Hotel) Malioboro. Saat itu, Ani bekerja sembari mengajar di Abakom Yogyakarta.

Siapa sangka, kegiatan yang dilakukan Ani sama sekali tak ada hubungannya dengan dunia kedokteran. Saat ini, Ani sibuk dengan profesinya sebagai dosen di Akademi Pariwisata Bina Sarana Informatika (Akpar BSI) Yogyakarta. Pun, Ani memilih fokus dalam bidang yang sama sekali jauh dari bidang kedokteran, yaitu manajemen pariwisata.

Pada 2004, Ani memutuskan untuk melanjutkan ke pendidikan sarjana jurusan Manajemen Pariwisata di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) API Yogyakarta. ”Setelah itu, saya mengajar di beberapa lembaga seperti Jogja English School dan beberapa lembaga bimbingan belajar di Yogyakarta,” ujar Ani saat ditemui tim duniadosen.com di Universitas BSI Yogyakarta beberpa waktu lalu.

Ani lulus jenjang sarjana pada 2006. Dua tahun berselang, Ani melamar di BSI Yogyakarta. Saat itu, dia masih menjadi dosen tidak tetap yang mengajar di jenjang D3. Karena tuntutan administratif sebagai dosen, Ani kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pada 2009, Ani melanjutkan pendidikan masternya di jurusan Manajemen Pariwisata Sekolah Tinggi Pariwisata (Stipari) Semarang dan lulus tahun 2011.

Dari Dokter ke Doktor

Perempuan asli Sleman tersebut menjadi dosen tetap di Akpar BSI Yogyakarta pada 2012. Beberapa bulan menjadi dosen tetap, Ani mengikuti pertukaran pengajar ke Amerika Serikat berkat program Fullbright dari American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF).

Dr. Ani Wijayanti, M.M., M.Par. CHE ketika kunjungan ke Hawaii State, Honolulu, USA. (doc. Ani)

Ani berada di Amerika Serikat selama lima bulan untuk mempelajari berbagai hal terkait pengajaran yang baik. ”Saya merasa bangga karena peserta seleksi berasal dari seluruh Indonesia. Itu sebuah prestasi bagi saya dan sangat berkesan sampai sekarang,” katanya.

Sekembalinya dari Amerika Serikat, Ani melamar beasiswa jenjang doktoral di UGM dan diterima di jurusan Kajian Pariwisata dan lulus pada 19 Juli 2018 lalu. ”Awalnya ingin menjadi dokter, tapi akhirnya menjadi doktor pariwisata,” kelakarnya.

Menjadi dosen, baginya adalah sebuah pengabdian. Ani menyebut profesi dosen tak bisa dilakukan setengah-setengah. Menjadi dosen artinya harus komitmen dalam mengemban setiap kewajiban tridharma, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Bagi Ani, ketika dosen sudah bisa melaksanakan tugas tridharma dengan maksimal, ya dosen tersebut bisa disebut dosen yang baik.

”Mengajar itu harus dari hati, mentransfer ilmu agar mahasiswa menjadi bisa dan tahu. Kemudian, penelitian itu juga harus dihilirisasi, harus berdampak kepada masyarakat. Begitu pula dengan pengabdian yang kita lakukan harus memastikan bahwa masyarakat yang kita sasar harus bisa berkembang,” tegas perempuan kelahiran Sleman, 3 Mei 1978 tersebut.

Ani: Kuncinya Adalah Mencintai Pekerjaan

Selain mengajar, saat ini Ani juga diberi amanah untuk mengelola program studi perhotelan di Akpar BSI Yogyakarta. ”Lembaga BSI melihat saya punya nilai lebih. Akhirnya, saya dimandatkan untuk turut serta mengelola prodi di sini,” ujar dosen yang juga anggota bidang penelitian dan pengembangan SDM, dan PKM Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata (Hildiktipari) tersebut.

Ani mengaku terlanjur cinta dengan profesinya saat ini. Apalagi, bidang yang dia geluti adalah pariwisata, bidang yang sangat ia cintai. ”Awalnya kesasar ambil jurusan pariwisata, tapi jadi cinta. Dari perhotelan kan masuk akademi pariwisata, jadi saya lanjutkan karena menurut saya dosen akan bagus jika ilmunya linier,” ceritanya seraya tersenyum.

Selain menjadi dosen di Akpar BSI Yogyakarta, Ani juga mengurus dua kampus BSI di Bandung, Jawa Barat dan mengurus keluarga. Kesibukannya dalam hal akademik ditambah dengan peran domestiknya di keluarga kadang membuat Ani merasa letih. Saya benar-benar berusaha manage waktu,” jelasnya.

Meski begitu, Ani menegaskan bahwa keletihan yang dia alami tertutup oleh perasaan senang ketika melakukan berbagai kegiatan. ”Intinya adalah manajemen waktu dan menikmati setiap proses yang ada. Pada saat kita menikmati pekerjaan, capeknya jadi tidak terasa,” ujar dosen yang memenangkan hibah penelitian disertasi doktor (PDD) pada 2017 tersebut.

Sempat Diremehkan, Sekarang Menjadi Kebanggaan

Ani adalah satu-satunya anggota di keluarganya yang mengenyam pendidikan sampai jenjang doktoral. Ayah dan Ibunya tidak sempat mengenyam perkuliahan. Pun, Kakak dan adik Ani juga tidak ada yang kuliah. Ani mengaku sekolah adalah sesuatu yang menyenangkan.

”Sejak kecil saya senang sekolah. Umur 3 tahun, saya iri dan nangis kalau kakak sekolah. Lulus SMA, kakak nggak pengen kuliah, saya pengen kuliah. Kalau nggak sekolah rasanya ada yang kurang. Kebetulan, setiap kuliah IPK tidak pernah jelek,” ceritanya.

Ani melanjutkan, dulu orang tuanya sempat protes kenapa dia melanjutkan sekolah sampai jenjang yang tinggi. ”Kata mereka, saya ngabisin uang saja karena saya memang sempat kesulitan buat membayar SPP. Namun, dengan pencapaian sekarang, mereka jadi bangga dan mengakui pencapaian saya,” ujarnya bangga.

Dosen Harus Memiliki Rasa Kepo

Dalam perjalanannya sebagai dosen, Ani beberapa kali menemui kendala. Baginya, salah satu kendala yang paling berat adalah bisa mengerjakan semua deadline yang kebetulan bersamaan. ”Kadang pusing sekali jika ada deadline yang bersamaan. Mana dulu yang saya kerjakan ya? Kan tak bisa saya delegasikan,” katanya.

Dr. Ani Wijayanti, M.M., M.Par. CHE ketika presentasi paper di seminar Intrenasional ISOT ke-3 yang diselenggarakan oleh UPI Bandung. (doc. Ani)

Pun, saat pertama kali mengajar, Ani mengaku hal yang paling berat adalah adaptasi. ”Bagaimana caranya menghadapi mahasiswa dengan baik kan perlu adaptasi untuk beberapa lama. Lama kelamaan, mengajar itu menjadi menyenangkan karena jam terbang sudah banyak. Dosen kalau sudah terbiasa ngajar, kalau udah pegang mic kayaknya nggak bisa diam,” ujarnya sambil tertawa.

Beruntung, di kampus tempatnya mengajar menerapkan evaluasi bagi dosen. ”Di sini ada kuesioner mahasiswa yang memberi penilaian kepada dosen dari sisi penampilan, cara ngajar, dan sebagainya. Nilai saya selalu bagus. Artinya, mahasiswa punya kesan baik untuk saya,” lanjut Ani.

Menjadi dosen, menurut Ani, adalah proses memperbarui pengetahuan. Maka dari itu, dosen dituntut untuk selalu belajar hal-hal baru. ”Kepo itu nggak hanya mahasiswa saja yang perlu punya, dosen juga harus kepo. Saya ini tipe dosen yang kepo, senang belajar. Jika ada training itu saya selalu mencoba ikut,” ujar dosen yang sudah memiliki sertifikat CHE (Certified Hospitality Educator) tersebut.

Dosen Harus Menjadi Center of Attention

Dalam menjalankan peran pengajaran di kelas, Ani memiliki kiat khusus. Dia menyebut bahwa dosen harus memiliki hal yang menarik bagi mahasiswa agar perhatian tak luput darinya. ”Saya harus  bisa menarik perhatian mahasiswa dulu. Kalau saya udah nggak menarik, mahasiswa pasti ngomong sendiri-sendiri. Jika saya udah jadi center of attention, penyampaian materi jadi lebih mudah,” terangnya.

Ani melanjutkan, sekarang era sudah berubah. Maka, model pengajaran juga harus disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan mahasiswa. ”Dulu sistemnya kan dosen menyuapi mahasiswa. Jika model seperti itu masih diterapkan di kelas, tidak akan efektif. Mahasiswa dulu cenderungnya manut, sekarang cenderung bebas mau menunjukkan jati diri dan mengekspresikan diri. Sebagai dosen, saya harus menyesuaikan,” lanjut Ibu tiga anak tersebut.

Ani menyebut interaksi dosen dan mahasiswa sekarang lebih sebagai teman diskusi. ”Sekarang, sumber ilmu itu banyak banget. Mahasiswa sudah bisa memilih gurunya sendiri melalui online. Jadi, dosen hanya membimbing dan mengarahkan. Tak kalah penting, dosen harus bisa menempatkan diri sebagai mitra diskusi yang mengasyikkan karena mahasiswa butuh orang-orang yang bisa memancing dan memotivasi,” jelas Ani.

Dalam menerapkan pengajaran student center learning, Ani juga getol membuat berbagai variasi permainan di kelas agar mahasiswa tak jenuh. Pun, sebelum pembelajaran, Ani selalu merefresh apa yang dipelajari di pertemuan sebelumnya. Begitupula ketika selesai mengajar, Ani memberi petunjuk apa yang akan kita pelajari di pertemuan selanjutnya. ”Agar ada ‘jembatan’ antarpertemuan,” ungkapnya.

Tentang Jurnal, Keinginan Menulis Buku Sampai Keinginan Menjadi Guru Besar

Hasil karya dosen terlihat dari publikasi jurnal yang dia hasilkan. Menurut Ani, masih banyak dosen yang menganggap publikasi ilmiah, apalagi yang terindeks jurnal internasional adalah sebuah momok. Ani tak mau terkungkung dalam anggapan tersebut. Ia ingin menikmati prosesnya. Hasilnya, dalam dua tahun terakhir, Ani berhasil menembus jurnal internasional bereputasi terindeks scopus dan jurnal nasional terakreditasi Dikti.

Salah satu buku karya Ani Wijayanti. (doc. Ani)

Selain ingin meningkatkan penulisan publikasi ilmiah, Ani juga masih memendam keinginan untuk menulis buku. ”Saya pernah menulis buku Pengolahan Data Menggunakan SPSS, namun saya cetak untuk kalangan sendiri seperti rekan dan mahasiswa saja. Tahun depan, ingin mempersiapkan buku tentang pariwisata pendidikan. Semoga bisa segera terbit,” harap dosen yang juga pengurus Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) tersebut.

Lebih lanjut, sebagai dosen Ani ingin sekali menjadi Guru Besar di bidang pariwisata. ”Sukses adalah saat kita bisa mencapai sesuatu. Untuk mencapai sesuatu itu harus bisa mengalahkan diri sendiri. Guru Besar adalah target visioner saya. Ya, dinikmati saja prosesnya,” ujarnya.

Pariwisata Yogyakarta Punya Potensi, Perlu Sinergi Pengelolaan

Sebagai ahli ilmu pariwisata, Ani mengangap pariwisata di Yogyakarta berkembangnya pesat sekali. ”Hal tersebut bisa dilihat saat liburan, Jogja pasti macet. Potensi pariwisata di Jogja itu banyak sekali. Pun, Jogja punya nilai budaya kental dan punya nilai keunikan tinggi,” jelas perempuan yang hobi menari tarian klasik tersebut.

Meski begitu, Ani menyoroti masih kurang baiknya pengemasan potensi wisata tersebut. Selain itu, Ani juga menyebut perlu peningkatan pengelolaan yang sinergi untuk membuat potensi wisata Yogyakarta menjadi lebih berkualitas. ”Saya melihat pengelolaan wisata di Jogja masih terkesan parsial, jalan sendiri-sendiri. Padahal potensinya jogja ini sangat luar biasa,” lanjut Ani.

Tak hanya itu, Ani juga menyebut potensi wisata yang ada harus berdampak positif kepada masyarakat sekitar. ”Kalau kita tidak membenahi dari sekarang, pariwisata tidak akan mendatangkan uang bagi masyarakat setempat. Itu bahaya. Padahal, yang kita inginkan pariwisatanya berkembang dan masyarakat sekitar bisa menikmati juga,” ujarnya tegas.

Sebagai akademisi, Ani menyebut peran perguruan tinggi adalah membantu mempersiapkan SDM di bidang pariwisata. ”Lulusan diharapkan membangun pariwisata, baik di jogja maupun di daerah masing-masing. Selain itu, kita juga berperan dalam pengabdian kepada masyarakat dan penelitian agar tahu apa yang perlu dikembangkan ke depan,” paparnya.

Ani menambahkan, makna sukses bagi Ani adalah proses. ”Saat kita mampu berproses dalam segala hal, kuat bertahan, bersakit-sakit dalam proses, berhasil menghadapi tantangan dalam setiap proses, dan akhirnya mampu menikmati setiap proses yang ada, maka kita pasti menjadi orang sukses,” imbuh Ani. (duniadosen.com/az)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RELATED POST

DOWNLOAD EBOOK GRATIS
⚠️Hanya Bisa Didownload Selama Ramadan

about

Get Started

Hubungi kami

Jl. Rajawali, Gg. Elang 6, No.2 Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, D.I.Yogyakarta 55581

Email : [email protected]

Telpon : 081362311132

Duniadosen.com © 2020 All rights reserved

Dibuat dengan ❤ di Jogja