fbpx

Indar Sugiarto: Antara Dosen dan Peneliti

dosen dan peneliti
Dr. Ing. Indar Sugiarto, S.T., M.Sc. dosen Universitas Kristen (UK) Petra, Surabaya memperlihatkan teknologi SpiNNaker yang ia kembangkan. (Foto: dok.Indar)

Dunia dosen di Indonesia tak bisa dilepaskan dari kewajiban tridharma perguruan tinggi.  Sedang dalam tridharma tersebut tercantum kewajiban untuk melakukan penelitian. Dan mungkin sebagian orang bertanya-tanya, apa beda dosen dan peneliti?.

Kali ini, dosen Universitas Kristen (UK) Petra, Surabaya, Dr. Ing. Indar Sugiarto, S.T., M.Sc. akan berbagi pengalaman menjadi dosen dan peneliti. Indar, sapaan karibnya, adalah dosen yang sudah lama berkecimpung dalam riset-riset bertema kecerdasan buatan. Sejak kuliah di Jerman, Indar sudah mengembangkan riset teknologi SpiNNaker (Universal Spiking Neural Network Architecture).

Di Indonesia, meski tugas utama dosen adalah mengajar dan mengembangkan bahan ajar, kenyataannya menjadi dosen sudah satu paket dengan menjadi peneliti akibat konsekuensi logis dari adanya tridharma perguruan tinggi. Namun, menjadi peneliti belum tentu bisa menjadi pengajar di kampus.

Indar menceritakan di luar negeri, akademisi boleh memilih untuk berkonsentrasi pada satu bidang, entah itu mengajar saja, meneliti saja, atau memilih keduanya. Biasanya, akademisi yang boleh memilih dua bidang sekaligus adalah akademisi berlevel profesor atau associate professor.

Dosen yang menyelesaikan pendidikan jenjang doktoral dari Technische Universitat Munchen, Jerman tersebut mengkritik banyaknya tugas yang wajib diemban oleh dosen di Indonesia. Menurutnya, kewajiban dosen di Indonesia tak lagi tridharma, namun caturdharma.

”Kalau di Indonesia ini tidak pandang bulu. Dua-duanya harus dikerjakan. Mengajar iya, meneliti juga iya. Bahkan bukan dua tugas, tapi tiga, atau empat sekaligus. Pemerintah menyebutnya tridharma perguruan tinggi. Pada kenyataannya, bukan tridharma yang kita lakukan, tapi caturdharma: pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan administrasi,” ungkap Indar.

Menurut Indar, fenomena caturdharma tersebut membelenggu para dosen. Para pengajar di seluruh perguruan tinggi dituntut untuk fokus pada bidang yang sifatnya administratif alih-alih meningkatkan kualitas pengajaran, penelitian, maupun pengabdian pada masyarakat.

Tridharma tak berarti apa-apa tanpa memenuhi kelengkapan administrasi jika ingin naik pangkat atau mencapai level jabatan tertentu. Dosen kelahiran 14 Mei 1977 tersebut menilai masih banyak sekali dosen yang menghabiskan waktu untuk sekadar memenuhi persyaratan administrasi yang akhirnya membuat penelitiannya asal-asalan karena tak cukup waktu.

”Padahal, kalau ingin menghasilkan penelitian yang berkualitas, harus meluangkan banyak waktu dan tenaga. Ironisnya, waktu dan tenaga tersebut sudah habis karena ngurusi perkuliahan dan beban administrasi yang berlebihan,” kritik sarjana lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) tersebut.

Menurut Indar, alasan dosen kesulitan untuk melakukan penelitian adalah banyaknya waktu yang tersita untuk proses pengajaran. Tak hanya mengajar, dosen juga harus terus belajar materi baru. Sehingga tak ketinggalan teori-teori baru yang berkembang dalam ranah akademik.

”Artinya, kita juga harus meluangkan banyak waktu untuk update bahan kuliah, melakukan evaluasi dan juga harus melakukan koreksi tugas-tugas atau ujian mahasiswa. Semuanya itu butuh waktu sehingga ketika hendak melakukan penelitian yang serius, waktunya nyaris tidak ada lagi. Belum lagi ditambah dengan tugas-tugas administrasi yang diberikan oleh kampus,” sesalnya.

Dari segi dukungan pemerintah, baik dosen maupun peneliti relatif mendapat dukungan yang sama karena memang berada dalam satu paket tridharma. Pun, saat ini banyak sekali program hibah yang bisa diambil untuk kegiatan tridharma. Meski begitu, Indar menilai bahwa hibah penelitian relatif lebih besar dibanding pengajaran maupun pengabdian kepada masyarakat.

”Memang kalau dilihat dari nominalnya, dana bantuan hibah penelitian biasanya lebih besar dan lebih variatif temanya dibandingkan hibah lainnya. Namun, secara umum sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan,” terang anggota The Institute of Electrical and Electronics Engineer (IEEE) tersebut.

Ada beberapa hal sebagai peneliti yang tak didapatkan ketika sekadar mengajar. Bagi Indar, kecintaannya terhadap bidang penelitian dapat memunculkan kepuasan batin yang tak ia temukan saat mengajar. Perasaan puas tersebut, lanjut Indar, tak bisa digantikan oleh apapun.

”Saya termasuk orang yang memiliki rasa ingin tahu tentang segala sesuatu yang cukup besar. Saya sangat puas ketika bisa melakukan penelitian sesuai dengan bidang yang saya minati, kemudian dalam penelitian tersebut saya menemukan sesuatu hal yang baru bagi saya meskipun mungkin belum/tidak memiliki impact nilai ekonomis langsung,” kata Indar.

Indar menuturkan, ketika keingintahuan besar terjawab oleh hasil riset pertama, biasanya akan memicu rasa ingin tahu selanjutnya tentang hasil penelitian baru. Artinya, dirinya bisa terus menjaga asa untuk terus konsisten melakukan penelitian dari waktu ke waktu. ”Ini menjadi semacam reaksi berantai yang memotivasi saya melakukan penelitian lagi dan lagi,” lanjutnya.

Selain itu, dari penelitian-penelitian yang dilakukan, Indar mengaku mendapat manfaat lain yaitu kesempatan untuk menghadiri berbagai konferensi di luar negeri, apalagi ketika seorang akademisi rajin melakukan penelitian, terutama yang didanai hibah.

”Kita sebagai peneliti juga akan memperoleh manfaat yang lain yaitu bisa berkunjung ke negara lain dan belajar budaya negara tersebut sambil terus mengembangkan jaringan lintas negara,” terang pimpinan di program studi Elektro UK Petra tersebut.

Ihwal iklim penelitian di instansi pendidikan di Indonesia, Indar menilainya sudah lebih baik dibanding lima atau sepuluh tahun lalu. Apalagi, pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) juga telah membuat berbagai program dana hibah yang bisa dimanfaatkan untuk penelitian.

Indar melanjutkan, dalam tataran iklim riset Asia Tenggara, Indonesia masih kalah dengan negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand yang lebih produktif melakukan penelitian berkualitas dan publikasi ilmiah. Indonesia hanya setingkat dengan Vietnam dan Filipina.

”Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dari sisi populasi, seharusnya kita bisa merebut posisi puncak atau kedua setelah Singapura dalam pemeringkatan iklim riset Asia Tenggara. Tapi sepertinya kita memiliki masalah kompleks seperti benang ruwet yang tidak mudah diurai,” katanya.

Sebagai peneliti sekaligus dosen, Indar ingin menularkan kecintaan terhadap riset kepada mahasiswanya. Sayangnya, Indar menilai bahwa antusiasme mahasiswa terhadap riset belum terlalu tinggi. Indar menyebut harus ada perubahan sistem pendidikan yang lebih berakar pada penelitian sejak dini, bukan sekadar mementingkan nilai.

”Masih banyak pendidikan level dasar hingga menengah (SD hingga SMA) yang masih mementingkan nilai tanpa melihat proses pedagogi yang diberikan ke anak didiknya. Yang penting siswanya lulus dengan nilai sekian. Makanya banyak anak didik yang diberi banyak sekali mata pelajaran berikut pekerjaan rumahnya,” sesal Indar.

Indar mencontohkan sistem pendidikan di negara maju yang tidak memberikan banyak pekerjaan rumah kepada siswa. Justru, siswa diberikan tugas yang sifatnya non-kurikuler seperti tugas eksplorasi lingkungan secara kolektif dan sebagainya, dimana siswa diajak untuk berinteraksi dengan lingkungannya secara langsung. Dari situ, lanjut Indar, rasa ingin tahu siswa akan meningkat lantaran banyak hal yang belum ia ketahui ditemui secara langsung.

Jika diminta memilih antara dosen dan peneliti, Indar tegas memilih menjadi peneliti. Kecintaannya terhadap bidang riset melebihi hal lainnya. Indar menganggap tugas dosen di Indonesia amatlah berat. ”Saya sering bilang ke rekan-rekan dosen, kalau di Indonesia jadi dosen itu seperti menjadi superman: dituntut untuk bisa semua hal,” kelakarnya.

Indar mengaku lebih menikmati hari-harinya sebagai peneliti. Ketika melakukan penelitian dan berusaha menemukan jawaban dari keingintahuannya terhadap sesuatu, Indar merasa sangat puas. Ke depannya, Indar ingin tetap fokus untuk melakukan penelitian. Pun, ketika jabatan Guru Besar turun untuknya, Indar ingin sedikit mengurangi porsi mengajar untuk fokus ke bidang penelitian. (duniadosen.com/az)

2 thoughts on “Indar Sugiarto: Antara Dosen dan Peneliti”

  1. Luar biasa masih muda banget ya ? Dosen kelahiran 14 Mei 1997 ….. Lahir 1997 ? 97 bukan 77 ? Trm ksh.

    1. terima kasih telah mengunjungi website duniadosen.com
      begitupun dengan koreksinya.

      Salam,
      tim duniadosen.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RELATED POST

DOWNLOAD EBOOK GRATIS
⚠️Hanya Bisa Didownload Selama Ramadan

about

Get Started

Hubungi kami

Jl. Rajawali, Gg. Elang 6, No.2 Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, D.I.Yogyakarta 55581

Email : [email protected]

Telpon : 081362311132

Duniadosen.com © 2020 All rights reserved

Dibuat dengan ❤ di Jogja