fbpx

Menulis Buku Referensi dari Karya Essay Ala Radita Gora

menulis buku referensi
Ilustrasi buku referensi karya dosen. (Sumber Foto: aarp.org)

Setiap dosen memiliki cara dan gaya menulis buku yang berbeda. Terlebih ketika dosen ingin menulis buku referensi. Bahannya bisa diambil dari pengalaman atau materi mengajar, penelitian, atau bahkan karya essay. Seperti yang dilakukan Dekan FISIP USNI, Dr. Radita Gora Tayibnapis, M.M., yang menghasilkan 3 karya buku selama menjadi dosen. Seperti apa pengalaman pertamanya dalam menulis buku referensi? Berikut hasil wawancara tim duniadosen.com bersama dekan Universitas Satya Negara Indonesia (USNI), Jakarta tersebut.

Pria kelahiran Surabaya, 17 Agustus 1985 ini pasca lulus dari S1 (UPN) “Veteran” Surabaya, dengan mengambil Program Studi Ilmu Komunikasi, di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Juli 2003 – November 2007) Gora berprofesi sebagai wartawan dibeberapa media di Surabaya. Sampai akhirnya ia tertarik untuk menjadi pengajar, dengan mengawali karir sebagai dosen (2012) di salah satu perguruan tinggi swasta, mengampu program studi  broadcasting dan public relation.

Dua tahun menjadi dosen, pada tahun 2014 Gora mulai menulis buku. Buku pertama yang ia tulis adalah jenis buku referensi berjudul “Hermeneutika Komunikasi” yang diterbitkan penerbit Deepublish, Yogyakarta, dengan tebal 198 halaman.

Buku Referensi Jadi Buku Karya Pertama

Gora mengaku dalam menyelesaikan buku perdananya tersebut membutuhkan waktu 2 tahun lamanya. Ia mengawali menulis buku referensi tersebut dari sebuah karya essay-nya yang ia post di blog pribadinya. Kemudian Gora membuatnya secara beruntun dalam paper 1 sampai 2 lembar setiap kali ia menulis. Dari sanalah, selanjutnya Gora terpikirkan untuk menjadikan tulisan-tulisannya untuk di bukukan menjadi buku referensi.

“Saya menulis buku referensi pertama saya ini bernuansakan filsafat komunikasi yang belajar tentang perpsektif Interpretasi teks. Awalnya saya memperlajari Hermeneutika ketika belajar di STF Driyarkara dan belajar di Kuliah Filsafat Salihara. Dari situ kemudian saya tertarik untuk mempelajari ilmu tafsir dari perspektif orang berkomunikasi dan penyampaian pesan,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, dari situlalah, kemudian Gora tergerak menulis tentang buku Hermeneutika Komunikasi pertama dan menjadi judul satu-satunya yang ada di dalam perbukuan Komunikasi di Indonesia. Buku tersebut terbit tahun 2014 dan tergolong buku referensi.

Lama Proses Menulis Buku Referensi

Gora menceritakan lama proses menulis buku referensi yang merupakan buku perdananya tersebut membutuhkan waktu 2 tahun. Karena merupakan pengalaman pertama sejak menjadi dosen dalam menulis buku referensi, sehingga memerlukan proses belajar selama 1 tahun sendiri untuk pendalamannya.

Diakui Gora sempat merasa khawatir karena buku yang ia tulis adalah buku referensi karya dari seorang dosen dan bukan buku fiksi. Terlebih buku tersebut menjadi karya yang menuliskan tentang fakta-fakta ilmiah dan resensi yang berkualitas. Sehingga perlu lebih detail dan teliti dalam menulis, serta belajar untuk riset tentang perspektif Hermeneutis.

Kendala Proses Menulis Buku Referensi

Gora menuturkan, kendala utama ketika menulis buku referensi adalah kurangnya referensi buku yang bisa menunjang teori dan resensi. Serta konsep yang berkaitan dengan konteks utama yang ditulis Gora. Hal ini tentunya diperlukan untuk bisa memenuhi kebutuhan definisi dari sebuah teori ataupun konsep-konsep yang diperlukan.

Kendala yang kedua, yang ditemui Gora saat menulis buku referensi yaitu, mood dalam menulis yang terkadang datang dan menghilang. Hanya karena malas ataupun merasa lelah setelah seharian bekerja. Dirasakan Gora, ketika sudah lelah bekerja akan berpengaruh pada mood menulis sehiingga aktifitas menulis menjadi tersendat.

Kendala yang ketiga dalam proses menulis buku referensi karya pertamanya adalah keterbatasannya saat itu dalam mengetahui tata cara menulis buku yang baik. Terutama dalam kemampuan memahami Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) atau penulisan yang sesuai dengan kaidah EYD.

Selain itu juga lulusan S2 Magister Manajemen Komunikasi, Universitas Trisakti, Jakarta (2009-2012) mengaku belum familiar dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam penerapkannya dalam menulis buku. Sehingga masih perlu beradaptasi untuk menyesuaikan cara menulis yang baik dan sesuai dengan kaidah penulisan buku referensi.

menulis buku referensi
Dekan FISIP USNI, Dr. Radita Gora Tayibnapis, M.M., membagikan pengalaman pertamanya dalam menulis buku referensi. (Sumber Foto: ISTIMEWA)

Alur Dalam Menulis Buku Referensi

Dalam menulis buku referensi, alur yang diterapkan Gora adalah dengan menentukan topik dan tema terlebih dahulu. Biasanya topic atau tema tidak jauh-jauh dengan apa yang tengah dilakukan Gora pada saat itu.

“Misalkan saya ingin menulis tentang kehidupan di “warung kopi”. Saya misalkan ingin  menuliskan tentang orang-orang dan kehidupan sosialnya, kemudian tata cara orang berkomunikasi di warung kopi, nah yang menjadi subjek penulisan saya kemudian adalah kelompok masyarakat yang ada di warung kopi itu,” ujar penghoby fotografi ini.

Selanjutnya, ia tentukan bahwa tema yang diambil adalah tentang kehidupan sosial di warung kopi. Setelah menentukan fokus tulisannya, kemudian baru menentukan judul yan tepat untuk dijadikan tulisan yang menarik.

Gora biasanya, membatasi judul hanya 6 kata. Serta mengutamakan judul yang biasa ia presentasikan kontennya. Ia pun mematok jumlah halaman dalam setiap karya bukunya. Meski ia selalu mengusahakan untuk jumlah penulisan buku sesuai dengan ketentuan penulisan buku yang dikeluarkan Ristek/BRIN atau standar yang dianjurkan IKAPI.

Setelah menyelesaikan tulisan, kemudian Gora melakukan koreksi, mulai dari tata kalimat, penggunaan kata, dan tanda baca. Sampai pada pengutipan sumber-sumber mulai dari sumber buku, sumber jurnal sampai pada sumber di media massa.

Langkah selanjutnya sebelum mengirimkan pada penerbit, biasanya Gora memastikan dulu tulisannya rapi, segala bentuk kriteria teknis penulisan terpenuhi dan segala bentuk format penulisan juga sudah sesuai. Kemudian mengirimkan naskah tersebut ke penerbit.

“Saya selalu mengusahakan untuk intens berkomunikasi dengan penerbit dan membiasakan untuk mengecek hasil penulisan yang mungkin kurang atau tidak sesuai dengan penerbit. Apabila disetujui untuk diterbitkan, maka saya selalu memastikan ada kontrak dengan penerbit,” akunya.

Cara Membagi Waktu

Doktor Ilmu Kounikasi, Program Pascasarjana, Universitas Sahid (2015-2019) ini selalu percaya bahwa hidup manusia sehari-hari adalah 24 jam, setidaknya dalam celah 12 jam harus memiliki cukup waktu meski hanya 1 sampai 2 jam untuk menulis buku. Gora sangat bersyukur, sebagai dosen dan kini diberikan amanah menjabat sebagai Dekan Fisip di USNI memiliki banyak waktu untuk menulis lebih dari dua jam sehari atau bahkan bisa setengah hari.

“Tapi ketika ada pekerjaan menumpuk dan aktivitas mengajar padat, saya suka mencari celah sejam atau dua jam saja menulis. Selain itu mengoptimalkan setiap hari Sabtu untuk menulis selagi libur kantor, kalau ada mengajar di hari Sabtu, saya biasanya sebelum atau sesudah mengajar suka biasakan untuk menulis atau membaca,” imbuh Gora.

Mau menulis Buku Referensi dari hasil penelitian untuk NAIK PANGKAT? Pedoman ini kami siapkan khusus untuk Anda
GRATIS! Ebook Sukses Menulis Buku Referensi
Menulis lebih mudah, angka KUM bertambah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RELATED POST

about

Get Started

Hubungi kami

Jl. Rajawali, Gg. Elang 6, No.2 Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, D.I.Yogyakarta 55581

Email : [email protected]

Telpon : 081362311132

Duniadosen.com © 2020 All rights reserved

Dibuat dengan ❤ di Jogja