fbpx

Prof. Ida Parwati : Tuberkulosis Jadi Masalah Kesehatan yang Belum Tuntas

Prof. Dr. Ida Parwati, dr., Sp.PK(K), Ph.D, mengungkapkan hingga saat ini angka kematian akibat TB masih tinggi. Berdasarkan laporan WHO tahun 2018, Indonesia berada diposisi ketiga di dunia untuk angka penderita TB. (dok. unpad.ac.id)

Bandung – Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ida Parwati, dr., Sp.PK(K), Ph.D, menjadi salah satu peraih hibah untuk penelitian penyakit menular dari skema Newton Fund. Perolehan hibah ini merupakan kerja sama Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI dengan Departemen Bisnis, Energi, dan Strategi Industri Pemerintah Inggris.

Dalam penelitiannya mengenai Tuberkulosis (TB), Prof. Ida akan berkolaborasi dengan Prof. Taane Clark dari The London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSTHM), Inggris.

“Sampai saat ini belum ada metode laboratorium untuk mendiagnosis tuberkulosis  yang  dapat membedakan TB aktif dan TB yang laten dengan sensitivitas yang tinggi,” ujar Prof. Ida di Departemen Patologi Klinik Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, Selasa (21/5) dikutip unpad.ac.id.

Penelitian tersebut dilakukan mulai 2019 selama tiga tahun, dengan judul riset “Using host-responses and pathogen genomics to improve diagnostics for tuberculosis in Bandung, Indonesia”.

Penelitian difokuskan untuk mencari penanda atau biomarker respons pejamu untuk kemudian dibuat dalam skoring risiko TB. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam mengidentifikasi TB sejak dini dan meningkatkan pemantauan saat pengobatan.

“Tujuannya adalah menemukan skoring risiko, untuk mengetahui pasien mana yang berisiko tidak sembuh dan yang akan sembuh, dengan melihat transkriptom-nya,” jelas Prof. Ida.

Proses penelitian yang dilakukan Prof. Ida akan berfokus di Bandung. Proses diawali dengan mengambil sampel darah penderita TB, baik yang sudah resisten maupun yang belum resisten terhadap obat anti tuberkulosis.

“Sampel darah pasien TB diambil sebelum pengobatan, kemudian diikuti selama 6 bulan pengobatan, dalam kurun waktu itu akan dilakukan empat kali pengambilan darah untuk dilakukan RNA sequencing dari transkriptom-nya,” jelas Guru Besar Patologi Klinik FK Unpad ini.

Lebih lanjut Prof. Ida menjelaskan, pemeriksaan terhadap pasien dan uji di laboratorium dilakukan di Indonesia. Kemudian dilanjutkan analisis hasil RNA sequencing menjadi risk score oleh Prof. Taane Clark di Inggris.

“Tentu saja harapan dalam penelitian ini kami mendapatkan ilmu yang baru, tetapi juga diakhir penelitian ini semoga kita betul-betul mendapatkan penanda yang penting untuk diagnosis TB yang aktif, kemudian menjadikannya skoring risiko terhadap luaran TB, sehingga ke depan pengelolaan pasien-pasien TB lebih baik dan lebih tepat,” harapnya.

Prof. DR. Dr. Ida Parwati, Sp.PK(K), PhD, ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia membacakan dokumen Kesepakatan Koalisis Organisasi Profesi di Sari Pan Pacific Hotels, (23/10/2017). (dok. facebook challenge TB)

Masih Tinggi

Lebih dari 30 tahun Prof. Ida memiliki perhatian khusus pada penanganan TB. Selain mengobati pasien, penyuluhan kepada masyarakat pun dilakukan. Berbagai penelitian mengenai TB juga dilakukan dan dipublikasikan disejumlah jurnal internasional serta didiseminasikan pada berbagai kegiatan ilmiah di sejumlah negara.

“Saya melihat TB ini menjadi masalah kesehatan, yang dari dulu sampai sekarang belum tuntas,” ujar Prof. Ida.

Perempuan yang kini juga menjabat sebagai South East Asia Director for World Association of Pathology and Laboratory Medicine ini mengungkapkan, hingga saat ini angka kematian akibat TB masih tinggi. Berdasarkan laporan WHO tahun 2018, Indonesia berada diposisi ketiga di dunia untuk angka penderita TB.

Dikatakan Prof. Ida, salah satu tantangan yang dihadapi dalam proses penyembuhan TB adalah lamanya masa pengobatan. Dalam waktu minimal 6 bulan, pasien diharuskan untuk teratur minum obat.

Kadangkala pasien merasa bosan atau merasa sudah sehat sehingga memutuskan untuk berhenti minum obat. Hal ini menyebabkan berkembangnya bakteri TB yang resisten obat yang mengakibatkan penyakit lebih sulit untuk ditangani.

“Karena tidak dilanjutkan minum obat, bakteri yang masih ada di tubuhnya belum mati semua, yang resisten obat akan berkembang semakin banyak,” ujarnya.

Menurut Prof. Ida, penanganan TB sebaiknya bukan hanya oleh sektor kesehatan. Kolaborasi multi sektor sangat diperlukan untuk menanggulangi penyakit tersebut.

Pada sektor ekonomi misalnya, peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi faktor penting dalam penanggulangan TB. Masyarakat yang sejahtera diharapkan dapat tinggal di tempat yang layak agar bakteri penyakit tidak banyak berkembang dan menular.

Prof. Ida menjelaskan untuk mencegah TB, masyarakat perlu tinggal di rumah yang terjaga sirkulasi udara, air, dan cahaya. Tempat tinggal yang kumuh atau berada di daerah padat penduduk, sangat rentan terhadap penularan TB.

Selain itu, masyarakat juga penting untuk menjaga pola hidup sehat, diantaranya makan makanan sehat dan tidak merokok. Etika batuk pun perlu diajarkan sejak anak-anak, sehingga masyarakat sejak dini sudah terdidik dalam pencegahan menyakit menular.

Prof. Ida juga menyayangkan jika masih ada penderita TB yang dikucilkan oleh masyarakat. Padahal, mereka sangat butuh dukungan dan pendampingan. Apalagi pengobatan TB yang cukup lama membuat dukungan dari lingkungan sekitar sangat diperlukan.

Ia pun berharap TB tidak lagi menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. “Inginnya sih penyakit TB ini cepat terdeteksi dan segera ditanggulangi. Mungkin suatu saat ditemukan obat yang tidak perlu dimakan dalam jangka waktu lebih pendek dari yang sekarang 6 bulan ini, supaya  pasien patuh makan obatnya,” harapnya.

Redaksi

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RELATED POST

about

Get Started

Hubungi kami

Jl. Rajawali, Gg. Elang 6, No.2 Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, D.I.Yogyakarta 55581

Email : [email protected]

Telpon : 081362311132