fbpx

Siti Musdah Mulia, Dosen Sekaligus Aktivis Perempuan

aktivis perempuan
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A. (kiri) sebagai pembicara kunci dalam salah satu seminar. (doc. Istimewa)

Bagi Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A. menjadi dosen merupakan sebuah panggilan jiwa. Maka, setiap peran dalam dunia dosen harus dilakukan sepenuh hati. Hal tersebut disadari betul oleh Musdah, dosen yang mengajar di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan yang juga sebagai aktivis perempuan.

Musdah memulai karirnya sebagai dosen mata kuliah Bahasa Arab dan Bahasa Inggris di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar (sekarang UIN Alauddin) pada 1977. Padahal, saat itu Musdah masih berstatus sebagai mahasiswa. ”Sejak itulah saya mulai meniti karir sebagai dosen. Setelah tamat S1 saya mengajar di beberapa perguruan tinggi di Makassar, selain di IAIN Alauddin,” ujarnya kepada tim duniadosen.com.

Dosen adalah profesi pertama Musdah. Meski saat itu Musdah masih menjadi asisten pengajar, dia tak memungkiri bahwa masa-masa pertama kali mengajar adalah suatu hal yang berkesan. Dia yakin untuk memilih dosen sebagai profesi sepanjang hayat yang akan terus ia pertahankan sampai kapanpun.

Aktif di Lembaga Pemerintahan

Selain menjadi pengajar di kampus, Musdah juga aktif di lembaga pemerintahan. Pada 1985, Musdah mulai bekerja sebagai tenaga peneliti di Departemen Penelitian dan Pengembangan Agama, Kementerian Agama (Kemenag) Sulawesi Selatan. Musdah berpikir bahwa bidang penelitian relevan dengan tugasnya sebagai dosen.

”Sejak itu secara resmi saya bekerja sebagai peneliti di Kemenag Sulsel, namun kegiatan mengajar di berbagai perguruan tinggi tetap jalan. Saya memilih mengajar di hari libur kantor, Sabtu atau sore hari sepulang kantor. Ketika itu belum macet seperti sekarang,” ujar perempuan asli Bone, Sulawesi Selatan tersebut.

Pada 1990, Musdah dipindahtugaskan ke Jakarta untuk mengabdi di Badan Litbang Kemenag Pusat. Kesempatan tersebut dimanfaatkan Musdah untuk menuntut ilmu lebih banyak lagi. Dia melanjutkan sekolah jenjang master di IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) di bidang Sejarah Pemikiran Islam.

Selain itu, Musdah juga mengajar bidang Sejarah Kebudayaan Islam di Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah sebagai asisten dosen. Kegiatan pengajaran tersebut ia tekuni sampai ia menamatkan pendidikan doktor di UIN Syarif Hidayatullah pada 1997 di bidang Pemikiran Politik Islam.

Menjadi Doktor Perempuan Pertama Bidang Pemikiran Politik Islam

Selain menjadi lulusan doktor terbaik UIN Syarif Hidayatullah pada 1997, Musdah adalah perempuan pertama yang mendapat gelar doktor bidang Pemikiran Politik Islam di UIN Syarif Hidayatullah. Menurutnya, hal tersebut tak terlepas dari sistem patriarki yang sudah mendarah daging di masyarakat.

”Bidang pemikiran politik Islam adalah bidang ilmu yang selalu dianggap maskulin. Tidak heran, jika sedikit perempuan tertarik di sini. Dunia politik selalu diidentikkan dengan dunia para patriarki, perempuan sebaiknya tidak menggeluti dunia politik. Selain itu, ada kecenderungan di masyarakat melihat politik secara negatif, melihat politik hanya melulu soal kekuasaan,” terang perempuan kelahiran 3 Maret 1958 tersebut.

Sebagai aktivis perempuan, Musdah enggan melanggengkan pandangan tersebut. Dia mencoba mengubah cara pandang masyarakat yang bias tersebut. Disertasinya menjelaskan bahwa politik adalah sesuatu yang positif, karena bicara tentang bagaimana menjadikan kekuasaan untuk kepentingan dan kemaslahatan orang banyak. ”Islam adalah agama yang vokal bicara tentang pentingnya politik untuk mensejahterakan umat,” ujar dosen yang meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul ‘Negara Islam: Pemikiran Husain Haikal’ tersebut.

Musdah melanjutkan, ketertarikannya kepada politik Islam makin menjadi-jadi setelah dia mengikuti kuliah politik Islam saat menempuh pendidikan pascasarjana. Selain itu, ia yakin bahwa sebenarnya ada hubungan positif antara Islam dengan politik. Maka, dia tak ragu memilih tema tersebut sebagai topik disertasinya.

”Islam memandang politik secara umum dengan pandangan yang positif dan konstruktif. Tujuan hakiki dari politik adalah penegakan nilai-nilai keadilan demi kemaslahatan semua manusia tanpa kecuali. Karena itu, politisi harus membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi semua orang, bukan hanya bagi diri dan kelompoknya saja,” ujar istri dari Ahmad Thib Raya itu.

Setelah menamatkan pendidikan doktoral, Musdah juga bertugas sebagai Staf Ahli Menteri Agama selain mengajar di UIN Syarif Hidayatullah. Tak hanya mengajar di kampus yang terletak di Ciputat tersebut, Musdah juga mengajar di beberapa lembaga pendidikan tinggi seperti Institut Ilmu-Ilmu Al Quran (IIQ), Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ), Kajian Gender di Universitas Indonesia (UI), Universitas Pelita Harapan (UPH) dan lainnya.

Sebut Dosen sebagai Profesi Mulia

Pada 2008, setelah Musdah mencapai puncak karir sebagai Ahli Peneliti Utama (Profesor Riset), dia memutuskan untuk sepenuhnya mengajar di UIN Syarif Hidayatullah sampai sekarang. Baginya, mengajar adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Apalagi, ada peran mulia di dalamnya.

”Mengajar bagi saya adalah tugas mulia dimana saya merasa mengimplementasikan visi Khalifah Fil Ardh (pemimpin di bumi). Itulah eksistensi utama manusia sebagai pengelola kehidupan di bumi yang melaksanakan misi Amar Ma’ruf Nahy Munkar,” jelas Musdah.

Bagi dosen yang juga menjabat sebagai Dewan Pembina The Megawati Institue tersebut, amar ma’ruf nahy munkar memiliki makna yang humanis. Kata-kata populer dalam ajaran Islam tersebut sejatinya adalah upaya-upaya transformasi dan humanisasi demi menjadikan manusia menjadi lebih manusiawi. Sehingga pada gilirannya nanti akan membawa rahmat, bukan hanya bagi sesama, melainkan juga bagi semua makhluk di alam semesta.

”Bagi saya, dosen adalah tugas kemanusiaan yang menyenangkan. Dosen hanya perlu menunjukkan kepada peserta didik tentang metode untuk memahami sesuatu, membimbing mahasiswa berpikir kritis agar mereka mampu menggali sendiri ilmu yang mereka inginkan. Sebagai dosen di bidang studi keislaman, tugas saya adalah membimbing mahasiswa untuk mendalami studi-studi keislaman dengan nalar kritis tapi tetap berpijak pada sumber Islam yang utama, Qur’an dan Sunnah,” tegasnya.

Merasa Lebih Peka Berkat Organisasi

Sebagai dosen sekaligus aktivis perempuan, Musdah mengaku tak nyaman jika berada di zona nyaman. Berbeda dengan sebagian dosen, perempuan 61 tahun tidak bisa diam di menara gading dan menikmati zona nyaman. ”Sejak mahasiswa saya sudah menjadi aktivis kampus dan aktivis berbagai organisasi kepemudaan,” terang perempuan yang tergabung dalam organisasi Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) dan Muslimat NU tersebut.

Siti Musdah Mulia (dua dari kiri) berfoto bersama jajaran tokoh Islam. (Foto: Musdah)

Ucapan Musdah berasalan. Selain bergabung dalam dua organisasi perempuan Islam tersebut, dia juga tergabung dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Di antaranya, Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ), Koalisi Perempuan Indonesia, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Jurnal Perempuan (JP), Transparansi Indonesia, dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Selain itu, Musdah juga aktif di beberapa Yayasan  Sosial untuk kerja sosial dan  bantuan kemanusiaan.

Menurutnya, peran di organisasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) turut membuat Musdah lebih peka dan peduli yang memunculkan empati. Sehingga bisa mengenali dan menghayati realitas sosial yang tak ditemukan di perguruan tinggi. Musdah menyebut dosen harus memiliki perasaan tersebut.

”Dosen seharusnya bukan hanya memiliki kecerdasan intelektual, melainkan juga kecerdasan emosional, bahkan kecerdasan spiritual untuk dapat mengerti persoalan riil yang dihadapi dan digeluti masyarakat agar tidak hanya mengerti secara teoritis. Ada banyak kondisi realitas yang sangat berbeda dan sulit dipahami secara teoritis,” terang Musdah.

Musdah mencontohkan ihwal isu perempuan yang juga menjadi fokus kajiannya. Menurutnya, isu perempuan tak bisa diungkap sepenuhnya hanya melalui bacaan dan diskusi dalam kelas. Dosen perlu turun langsung dan melihat serta mendengar bagaimana pengalaman perempuan di lapangan. Sehingga dosen mengerti persoalan kemanusiaan terkait ketidakadilan gender, diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap perempuan.

”Pengalaman perjumpaan dengan banyak kelompok di lapangan dan kerja-kerja pendampingan terhadap kelompok minoritas yang rentan dan tertindas, baik dari aspek gender, orientasi seksual, agama, kepercayaan, maupun etnis dan budaya membuat saya menjadi dosen yang beda. Saya tergugah bersuara lantang menggugat kebijakan negara yang tidak adil, mengkritisi interpretasi agama yang bias gender dan tidak humanis serta melawan norma-norma budaya yang bias gender dan feodalistik,” ucap dosen yang sekaligus sebagai aktivis perempuan tersebut.

Dorong Kebebasan Berpendapat sampai Membuka Diri Terhadap Perubahan

Ihwal interaksi dengan mahasiswa, Musdah mengaku selalu membebaskan mahasiswa dalam menyuarakan pendapat. Di kelasnya, selalu ada isu baru yang diperdebatkan secara terbuka dan kritis. Sebagi dosen, Musdah selalu mendorong mahasiswa untuk berani menyuarakan pendapat dan opini, meskipun itu sangat sensitif. ”Saya meyakini adanya mimbar kebebasan akademik di kampus. Sepanjang kita menyuarakan di kelas, tidak ada konsekuensi hukum apa pun bagi kita,” ujarnya lantang.

Putri pertama pasangan H. Mustamin Abdul Fatah dan Hj. Buaidah Achmad ini ingin mahasiswa yang dia ampu bisa menyampaikan ide dan gagasan baru yang belum pernah dia dengar sebelumnya. Baginya yang penting ada argument logis pada setiap pendapat yang mahasiswa sampaikan. Jadi, bukan asal bicara. ”Bahkan, saya menjanjikan hadiah bagi siapa yang mampu menemukan literatur baru yang belum pernah saya baca. Dengan demikian suasana kelas selalu hangat, santai tapi tetap terjaga disiplin,” lanjut dosen yang aktif dalam gerakan perempuan tersebut.

Bagi Musdah, kebanggaan sebagai dosen bisa ia rasakan ketika melihat mahasiswa yang dia ampu menjadi sosok yang otonom, berani, dan berpikir kritis. Musdah mengaku tak membutuhkan penghormatan berlebihan dari para mahasiswa, misalnya praktik cium tangan setiap kali bertemu.

Musdah sadar bahwa dosen acapkali menghadapi tantangan besar, terutama kaitannya dengan perkembangan teknologi dalam era revolusi industri 4.0. Baginya, tantangan terbesar dosen yaitu bagaimana menyuguhkan pembelajaran dengan cara-cara canggih sesuai perkembangan zaman.

”Saya pikir tidak lama lagi cara belajar konservatif di kelas akan hilang digantikan dengan cara belajar online. Para dosen harus mau keluar dari zona nyaman dan meninggalkan menara gading untuk turun ke lapangan mengamati realitas sosiologis masyarakat yang berubah total dalam banyak aspek,” terang perempuan pertama yang dikukuhkan LIPI sebagai profesor riset bidang lektur keagamaan Kemenag tersebut.

Menurut Musdah, masih banyak dosen yang terperangkap pemikiran tradisional, alih-alih mau belajar. Masih banyak dosen yang menulis hanya untuk kepentingan naik pangkat, bukan menjawab persoalan riil yang dihadapi masyarakat sehari-hari. ”Masyarakat membutuhkan teori-teori baru yang dapat diaplikasikan untuk kondisi kekinian yang penuh tantangan. Dosen harus membuka diri,” tegas Musdah.

Musdah menambahkan pentingnya dosen membuka diri terhadap apapun dalam rangka belajar. Baginya, semua temuan baru dalam ilmu apapun memiliki dampak dan hubungan dengan bidang ilmu yang ditekuni. (duniadosen.com/az)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RELATED POST

DOWNLOAD EBOOK GRATIS
⚠️Hanya Bisa Didownload Selama Ramadan

about

Get Started

Hubungi kami

Jl. Rajawali, Gg. Elang 6, No.2 Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, D.I.Yogyakarta 55581

Email : [email protected]

Telpon : 081362311132

Duniadosen.com © 2020 All rights reserved

Dibuat dengan ❤ di Jogja