fbpx

Najib Azca, Dari Wartawan Menjadi Pengajar

menjadi pengajar
Selain menjadi dosen di Fisipol UGM, Dr. Najib Azca MA PhD juga sebagai ketua PSKP UGM. (Foto: Najib)

Sebagai sosok yang menyukai bidang jurnalistik, Muhammad Najib Azca, M.A., Ph.D sangat mencintai pekerjaannya sebagai wartawan. Bahkan, ia menjadi kuli tinta sejak masih kuliah yang membuatnya lulus cukup lama dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM, sembilan tahun. Lantas bagaimana perjalanan karir Najib mulai dari wartawan menjadi pengajar di almamaternya? Berikut hasil wawancara tim duniadosen.com.

”Saya cuti cukup lama karena bekerja sebagai jurnalis di Jakarta tahun 1992. Dulu, saya bekerja sebagai wartawan untuk Tabloid Detik yang membuat skripsi saya cukup lama telantar,” ujar Najib membuka cerita pada tim duniadosen.com di ruang kerjanya di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM beberapa waktu lalu.

Karena dibredel pada era pemerintahan Orde Baru tahun 1994, Najib, sapaan akrabnya, berhenti bekerja di Detik dan punya alasan kembali ke Yogyakarta untuk menyelesaikan skripsinya yang terbengkalai.

Sekembalinya ke kampus, Najib bertekad untuk segera merampungkan skripsinya tentang tinjauan sosiologi kritis mengenai dwifungsi ABRI, isu yang sangat sensitif pada waktu itu. Najib menyelesaikan pendidikan sarjananya pada 1996 dan berniat untuk kembali menjadi wartawan selepas lulus jenjang sarjana.

Cerita bergulir, ada salah satu dosen yang menyukai tulisan Najib. Yahya A. Muhaimin, Dekan Fisipol UGM saat itu yang merupakan salah satu penguji skripsinya merasa kesengsem dengan skripsi Najib. Selanjutnya, Yahya A. Muhaimin menawari Najib untuk menjadi dosen.

Tak hanya menawari untuk menjadi pengajar, dosen yang juga salah satu pendiri PSKP UGM tersebut juga mengajak Najib untuk menjadi asisten peneliti di PSKP. ”Beliau bilang, kalau berminat (menjadi dosen –red), saya bisa mengarahkan. Kalau tertarik, sambil menunggu formasi dosen, kamu jadi asisten peneliti di PSKP,” ujar Najib menirukan perkataan dosen tersebut.

Najib gamang. Ia tak serta merta menerima tawaran tersebut. Ia meminta masukan kepada teman-teman wartawan ketika di Jakarta dan mayoritas mendukung Najib untuk menerima tawaran tersebut. ”Daripada menganggur karena belum ada media setelah dibredel sekalian nge-charge diri, saya akhirnya bilang ke Pak Yahya mau jadi dosen dan ikut seleksi sampai diterima,” ujarnya.

Najib menjadi dosen sejak 1996 (dosen tetap pada 1998) sampai sekarang. Ia menyebut kisah perjalanannya menjadi dosen tidaklah ideal dan amat unik karena ia lulus jenjang sarjana selama sembilan tahun dengan nilai pas-pasan, disaat banyak dosen lulus tepat waktu dengan predikat cumlaude.

Najib mengaku selama mengajar, ia belum bisa meninggalkan dunia jurnalistik sepenuhnya, tak dipungkiri jurnalistik menjadi bidang kecintaannya. Sejak 1996, ia bekerja sebagai redaktur paruh waktu di Tabloid Adil di Solo yang membuatnya harus bolak-balik Yogyakarta-Solo.

Menurutnya, profesi dosen sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang ia lakukan ketika menjadi wartawan. Keduanya sama-sama memerlukan riset dan penulisan. Pun, ketika dosen mengajar untuk mahasiswa, wartawan juga mengajar melalui tulisan kepada publik. Keduanya sama-sama pekerjaan intelektual.

Sebelum kuliah di UGM, Najib sebenarnya ingin masuk IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) karena ingin menjadi pengajar. Ketika kuliah, nyatanya Najib kecewa karena banyak dosen mengajar alakadarnya, tak inspiratif, dan membosankan yang membuatnya lebih banyak berkegiatan sebagai aktivis di luar kelas.

”Tidak semua dosen mengajar secara menarik. Sejak semester 4, saya menanggalkan mimpi jadi dosen. Saya lebih suka sebagai aktivis. Sering ikut diskusi di luar kelas dibanding di dalam kelas yang membosankan. Itu yang membuat nilai akademik saya pas-pasan,” ujar mantan pemimpin redaksi LPM Sintesa Fisipol UGM tersebut.

Maka ketika menjadi dosen, Ia ingin maksimal. Najib ingin melakukan aktualisasi diri di bidang penulisan dan riset yang menjadi bidang favoritnya. Selain itu, ia juga ingin menjadi dosen yang mengedukasi mahasiswa secara bermakna.

Kenapa Sosiologi?

Sejak awal menekuni profesi dosen, Najib sudah mengajar bidang Sosiologi. Ia mulai tertarik pada bidang tersebut semenjak pendidikan menengah atas. Meski Najib berada pada jurusan IPA di SMA Negeri 1 Pekalongan, namun ketertarikannya pada isu sosial cukup besar, apalagi setelah bergabung sebagai aktivis Pelajar Islam Indonesia, salah satu organisasi Islam yang dikenal radikal pada masa Orba karena menolak asas tunggal Pancasila.

menjadi pengajar
Dr. Najib Azca, MA PhD, dosen Sosiologi UGM saat ditemui duniadosen.com di ruang kerjanya di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. (Foto: Najib)

Pada masa tersebut, Najib mengaku terinspirasi oleh sosok Ali Syariati, sosiolog sekaligus pemikir revolusi Iran yang menulis buku Sosiologi Islam. Bagi Najib, Ali Syariati adalah sosok yang menarik karena selain sosiolog, ia juga seorang pemikir perubahan yang ulung.

”Iran pada 1979 berhasil menurunkan rezim otoritarian melalui revolusi diganti pemerintah baru Ayatullah Khomeini. Waktu itu sebagai anak muda yang terbuka, saya sangat terinspirasi dengan kisah tersebut. Apalagi ada sosok Ali Syariati yang cukup berkesan buat saya,” ucap dosen yang pernah mengajar di Akademi Militer tersebut.

Kecintaannya pada bidang sosiologi makin membuncah ketika berhasil masuk kuliah di UGM. Sejak saat itu, hampir semua kajian dan penelitiannya berhubungan dengan sosiologi agama, politik, kepemudaan, konflik, keamanan, dan gerakan sosial.

Menurutnya, perkembangan teknologi turut mengubah lanskap ilmu sosial. Perkembangan teknologi digital membawa perubahan drastis sekaligus dramatis dalam berbagai hal, termasuk isu konflik, perdamaian, dan politik yang ia tekuni.

”Sekarang politik termediasi melalui media. Gerakan sosial pun sekarang sangat mengandalkan media digital. Begitu juga dalam isu konflik, orang bisa menjadi radikal hanya gara-gara menonton YouTube. Bahkan ada istilah jihadis open source, sebutan untuk orang yang mengalami proses radikalisasi melalui akses terhadap dunia digital,” ujar peneliti tesis peranan militer dalam konflik Ambon tersebut.

Dosen lulusan master dari Australia National University (ANU) tersebut melanjutkan, dunia digital memberikan lanskap lengkap untuk banyak hal, termasuk radikalisasi. Menurutnya, ekologi digital sama sekali beda dengan ekologi analog. Ia mengakui fenomena tersebut membuatnya agak tertatih untuk belajar, karena ia tak belajar digital sejak kecil.

Dosen Perlu Banyak Belajar

Dosen tak lekang oleh tantangan. Najib menuturkan, tantangan paling besar seorang dosen adalah kemampuannya untuk belajar secara terus menerus. Apalagi, dengan adanya perkembangan digital yang memungkinkan keterbukaan informasi lebih luas seperti saat ini.

Menurut Najib, dosen juga harus belajar kepada mahasiswa karena di era keterbukaan informasi, bisa jadi mahasiswa memiliki pemahaman lebih luas dibanding dosen karena kepiawaiannya menggunakan perangkat teknologi digital.

”Sekarang era digital. Akses terhadap materi lebih terbuka sehingga mahasiswa bisa jadi lebih pinter. Dulu buku kan difotokopi ramai-ramai buat belajar karena nggak tersedia secara online. Kalau sekarang kan hampir semua sudah tersedia di digital,” terang Najib.

Ia melanjutkan, posisi dosen makin lama bisa jadi tidak relevan karena banyak mahasiswa bisa belajar secara mandiri menggunakan perangkat teknologi digital. Tidak harus menjadi mahasiswa kampus ternama untuk bisa mendapat materi berkualitas. Mahasiswa bisa belajar secara online untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan mutakhir.

Maka dari itu, belajar adalah hal yang wajib terus dilakukan oleh dosen. Dosen pantang merasa lebih pandai dibanding mahasiswa. ”Subjek didik punya akses pengetahuan yang luar biasa. Kemampuan kita harus terus menerus dikembangkan, termasuk belajar dari mahasiswa. Proses belajar adalah proses saling belajar, bukan sekadar dosen mengajari mahasiswa,” tegasnya.

Selain itu, tantangan lain yang dihadapi dosen ihwal interaksi dengan mahasiswa adalah bagaimana menyuguhkan proses belajar yang menarik. Menurut Najib, banyak mahasiswa yang memiliki kebiasaan multitasking, terutama akibat dibolehkannya penggunaan gawai dalam kelas.

”Kuncinya adalah kelas harus interaktif. Kita harus punya kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik agar bisa menarik perhatian mahasiswa. Kita harus mampu melibatkan mahasiswa dengan topik yang menarik sehingga kelas tidak monoton,” jelas peraih gelar doktor dari  Amsterdam Istitute for Social Science Research (AISR), University of Amsterdam, Belanda tersebut.

Tentang ‘Dua Menyemai Damai’

Belum lama ini, Najib sukses meluncurkan buku berjudul ‘Dua Menyemai Damai’. Buku ini ia terbitkan bersama tim riset PSKP UGM yang ia luncurkan dalam Peluncuran Buku dan Seminar Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan Demokrasi, Kamis (17/1/2018).

menjadi pengajar
Dua Menyemai Damai, buku terbaru Najib Azca. (Foto: Najib)

Buku ini banyak membahas tentang peran dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam mengampanyekan perdamaian dan demokrasi. Ia menyebut saat ini, wajah Islam global identik dengan kekerasan. Ia ingin menunjukkan kepada dunia ada tradisi Islam yang bisa berdampingan baik dengan demokrasi yang ada di Indonesia.

”Ini sebagai bagian dari upaya untuk melakukan kampanye dan dakwah global mengenai Islam Indonesia yang damai. Sekarang kan Islam global identik dengan kekerasan, terorisme, dan konflik karena Islam masih mengacu kepada negara-negara Timur Tengah yang konfliknya nggak habis-habis itu,” ungkapnya.

Najib melanjutkan, menjadi Islam bukan berarti mengikuti Arab Saudi, Iran, Irak, Afganistan, maupun negara Arab lain. Ia menyontohkan adanya NU dan Muhammadiyah menunjukkan Islam Indonesia mampu mengawal demokrasi dan konsolidasi dengan baik. ”Bisa dibilang, NU dan Muhammadiyah sebagai pilar Islam yang berkeadaban. Itu harus di show up ke dunia,” ujarnya mantap.

Ingin konsisten mengemban peran sebagai akademisi, selain menulis buku, ke depannya Najib akan fokus dalam bidang penulisan ilmiah dan riset sembari mengajar. Selain itu, pendiri Youth Studies Center (YOUSURE) Fisipol UGM tersebut juga akan lebih banyak menghabiskan waktu di PSKP UGM, lembaga yang ia pimpin sejak tiga tahun lalu. (duniadosen.com/az)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RELATED POST

about

Get Started

Hubungi kami

Jl. Rajawali, Gg. Elang 6, No.2 Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, D.I.Yogyakarta 55581

Email : [email protected]

Telpon : 081362311132