fbpx

Yayi Suryo, Dosen yang Gigih Mengampanyekan Bahaya Merokok

bahaya merokok
Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D saat ditemui tim duniadosen.com di ruangan kerjanya di Gedung Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM, beberapa waktu lalu. (Foto: duniadosen.com/ta)

Yogyakarta – Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D, memperoleh gelar professor dengan penelitian tentang rokok. Ia mengaku hanya tertantang saja awalnya mengambil rokok sebagai topik penelitian. Menurutnya, rokok merupakan topik yang jarang diteliti dan anti mainstream ketimbang topik seperti depresi atau stres yang biasanya diteliti oleh dosen-dosen lain. Dari sanalah awal mula Yayi mengampanyekan bahaya merokok.

“Waktu itu saya mau mengambil narkoba tapi kata bapak saya (Alm. Prof DR Dr KPH Soejono Prawirohadikusumo/ Prof Yono) narkoba itu sedikit rumit dan banyak yang harus dipelajari. Setelah saya mengikuti beberapa workshop adiksi, rokok itu susah (baca: dihentikan) tapi masih legal. Legal dijual. Mungkin karena ada adiksinya. Mungkin itu yang mendorong saya,” ungkap Yayi pada tim duniadosen.com.

Yayi mengungkapkan tidak ada penolakan terkait penelitiannya ini. Akan tetapi penolakan justru muncul saat dirinya mengisi diskusi atau ceramah dengan komunitas terkait rokok. Yayi pernah menjadi pembicara bersama Komunitas Kretek. Setelah melakukan penelitian tentang rokok, ia menyadari bahwa kubu yang pro dan kontra itu ada di berbagai lini, seperti sarang laba-laba, banyak, dan saling bersilang. Di kalangan wartawan pun ada.  Di kalangan partai juga ada.

“Dia menolak semua bukti-bukti yang ada. Menurut dia penelitian itu bullshit karena kenyataannya merokok itu tidak apa-apa,” tutur Yayi. Waktu itu, ada anggapan bahwa rokok tidak menyebabkan kematian. Hal ini berdasarkan pengalaman orang zaman dulu yang mengonsumsi rokok tapi tetap sehat dan penyebab kematiannya bukanlah rokok.

bahaya merokok
Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D mendapatkan gelar doktor setelah meneliti tentang bahaya rokok. (Foto: dok. ugm.ac.id)

Menurut Yayi, orang-orang tidak pernah mempermasalahkan soal bahaya merokok karena ada faktor adiksi. Yayi membandingkannya dengan kasus formalin-boraks dalam bakso dan tahu. Masyarakat mempermasalahkan kasus tersebut ketimbang kasus rokok. Padahal rokok dikonsumsi setiap hari dan sudah jelas terdapat racun di dalamnya.

“Ini dikonsumsinya hampir tiap hari tiap jam. Kenapa karena itu adiksi. Kalau tahu dan bakso kan, ya ada yang adiksi bakso tapi kan jarang. Tahu kan tidak terlalu. Jadi itu bukan adiksi,” jelas Yayi.

Yayi berpikir sudah menjadi tugasnya untuk mempromosikan kesehatan. Ia dari fakultas kedokteran dan promosi kesehatan adalah bidangnya. Ia memberitahu masyarakat mana yang sehat dan mana yang tidak. Berdasarkan kajian penelitiannya, rokok tidak menyehatkan. Jika terdapat seorang perokok dan tetap sehat maka itu merupakan peristiwa yang kasuistik dan memerlukan penelitian lebih lanjut.

Yayi menegaskan, perlunya meneliti bagaimana latar belakang dan gaya hidup perokok tersebut. Yayi mencontohkan, seorang perokok yang tinggal di desa. Perokok tersebut tetap hidup sehat karena ada faktor tempat tinggal, pola makan, dan aktivitas yang dilakukan.

Yayi menyebutkan, saat melakukan penelitian maka perlu membahas bagaimana rancangan penelitiannya. Rokok dalam penelitiannya ini adalah faktor risiko. Misal meneliti tentang kasus perokok maka perlu meneliti faktor-faktor lain yang berkaitan. Mengapa kasus perokok satu dengan perokok lainnya berbeda karena terdapat faktor risiko dan faktor protektif yang menyertai. Yayi merujuk pada pengalaman bapak dari supirnya yang bekerja sebagai petani.

Sang bapak yang juga sebagai dokter dan dosen kala itu, memutuskan berhenti merokok ketika kakak pertama Yayi  beranjak remaja. Alasan ayahnya tersebut diketahui Yayi, karena ayahnya tidak ingin anak-anaknya menjadi perokok. Yayi pun kemudian melakukan wawancara dengan supirnya terkait kebiasan merokok di lingkungannya.

“Saya sampai nanya supir saya. Saya wawancara mendalam. Perilaku merokok bapaknya itu bagaimana, terus makannya apa. Terus petani itu makannya seringnya makan sayur, ikan bukan junkfood. Jadi faktor protektifnya itu dengan kegiatan mencangkul, makan sayur, dan merokok pada saat-saat tertentu saja, misal saat istirahat. Itupun sehari hanya satu sampai dua batang. Dan udara di pedasaan masih segar, jarang polusi,” jelas Yayi.

Berdasarkan penuturannya, saat ini sudah banyak yang mengampanyekan soal bahaya merokok bagi kesehatan. Ada asosiasi mahasiswa bernama Sembilan Setengah Centi di Bantul. Asosiasi tersebut menjadi jejaring komunitasnya yakni Jogja Sehat Tanpa Tembakau. Terdapat pula beberapa LSM. Meskipun tidak berfokus pada rokok tapi LSM-LSM juga ikut mengampanyekan bahaya merokok. Jadi sudah mulai banyak yang jadi pengikut dan masyarakat mulai sadar.

Jogja Sehat Tanpa Tembakau sendiri adalah komunitas yang diinisiasi oleh Yayi dan rekan-rekannya sekitar tahun 2000-an. Yayi menekankan, komunitas ini bukanlah organsiasi yang resmi. Hanya saja, tetap rutin melakukan pertemuan jika ada kegiatan.

“Memang pertemuannya tidak seintens dulu tapi masih. Kita masih banyak kerjasama dengan dinas kesehatan. Jadi dinas kesehatan dan puskesmas hubungi kita itu kalau ada sosialisasi tanpa rokok atau sosialisasi perda. Narasumbernya dari kita,” imbuhnya. (duniadosen.com/aw)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RELATED POST

about

Get Started

Hubungi kami

Jl. Rajawali, Gg. Elang 6, No.2 Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, D.I.Yogyakarta 55581

Email : [email protected]

Telpon : 081362311132