fbpx

Era Disruption, Begini Cara Mengajar Yayi Suryo Pada Mahasiswa Milenial

Caption Prof. Dra. RA Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D Guru Besar di Departemen Ilmu Perilaku, Kesehatan Lingkungan dan Kedokteran Sosial FK UGM. (Foto: dunidosen.com/ta)

Yogyakarta – Pembahasan tentang era milenial juga menyita perhatian Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D, sebagai dosen psikologi klinis Fakultas Kedokteran Universtas Gadjah Mada (UGM). Di zaman serba teknologi sekarang ini, tantangan menjadi dosen adalah bagaimana menghadapi mahasiswa milenial yang sering gagal fokus. Nah untuk mengatasi hal tersebut, Yayi memiliki trik cara mengajar.

Menurut Yayi, mahasiswa milenial saat ini lebih banyak mendapatkan disruption, misal dari telepon genggam. Tantangan yang lain adalah mahasiswa mendapatkan banyak informasi dari gadget jadi dosen harus tahu bagaimana membuat kuliahnya betul-betul menarik. Kalau zaman dulu, mahasiswa masih bergantung dengan dosen. Tapi saat ini, dosen harus memiliki trik cara mengajar yang tepat untuk mahasiswa zaman now.

“Sebetulnya saya sangat senang kalau ditanya-tanya mahasiswa, tapi di S1 itu susah banget terjadi interaksi dan diskusi. Padahal Fakultas Kedokteran ini modelnya based discuss-learning sehingga lebih banyak diskusi. Kita biasanya ada diskusi tutorial di samping tetap ada perkuliahan. Itu tantangan saya membuat bagaimana mahasiswa ini konsentrasi. Sehingga mahasiswa bisa mengkritisi dan mendengarkan kuliah saya. Sehingga kalau tidak ada mahasiswa yang bertanya, saya justru bertanya-tanya sebenarnya mereka mengerti atau tidak,” ujar Yayi.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, selain menekankan cara mengajar interaktif dan diskusi Yayi dan rekan-rekan sesama dosen, masih memikirkan cara yang tepat. Berdasarkan literatur dan universitas di luar negeri, ruang kuliah harus didesain berbeda. Tidak lagi berbentuk teatrikal atau ruang kelas, tapi berbentuk diskusi-diskusi.

Di departemennya saat ini baru akan satu kelas yang akan dibuat bentuk kelas interaksi dan diskusi. Teknisnya, mahasiswa diarahkan dari dosen atau bergabung dalam tim pengajar. Mereka belajar sendiri tapi bukan dilepas. Jadi tugas mahasiswa mendiskusikannya dan dosen masuk, kemudian mereka menanyakan mana yang belum jelas, tugas dosen menjelaskan dan mengecek pemahaman atau persepsi mahasiswa. Yayi berharap hal itu segera terwujud dalam waktu dekat.

“Kita baru mau mencoba cara mengajar model kelas diskusi untuk yang S2 dulu. Yang S1 ini sebetulnya sudah model diskusi di Fakultas Kedokteran tapi kuliahnya itu masih ada. Nah kuliahnya itu apakah harus, kalau menurut saya kuliahnya dibikin interaktif dan diskusi. Yang itu belum bisa saya lakukan juga karena memproduksi media ajar yang bagus itu membutuhkan dana. Untuk itu sekarang UGM juga gigih memberikan dana kepada dosen untuk membuat alat pengajaran yang lebih menarik termasuk dimasukkan ke dalam platform di web,” paparnya.

Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, Prof. Dra. R.A. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D., saat pidato pengukuhan guru besar, di Balai Senat UGM, (15/2/2018). (Foto: doc. ugm.ac.id)

Yayi menyatakan, seharusnya perkuliahan bukanlah hal wajib untuk mahasiswa milenial. Perkuliahan itu opsional. Mahasiswa datang ke kelas bukan karena sekadar presensi tapi karena memang  ingin dan butuh. Kedua, perkuliahan tidak hatus dilakukan di dalam kelas. Ia mengaku lebih senang berada di luar kelas sesekali. Perkuliahan pun bisa berbentuk interaksi dan diskusi. Jadi belajar tidak hanya mendengarkan tetapi juga memahami. Kemudian mencoba untuk mengkritisi dan mendiskusikannya.

Adanya issue bahwa ke depan revolusi industry 5.0 akan lebih banyak mengubah cara mengajar dan belajar dosen dan mahasiswa, karena hampir semua lini akan menggunakan teknologi. Dalam bidang perkuliahan, bisa jadi dosen mengajar di kelas akan digantikan dengan cara virtual. Namun, Yayi sebagai dosen Psikologi Klinis pihaknya tidak meyakini hal tersebut sepenuhnya. Manusia sebagai mahluk sosial, pasti tetap dibutuhkannya human interest meski teknologi semakin canggih.

“Saya masih percaya human interaction itu masih dibutuhkan. Tapi ya caranya berbeda. Blended learning itu nggak apa-apa tapi kan masih ada interaksinya,” jelasnya.

Yayi sadar bahwa setiap dosen mempunyai pandangan berbeda terkait hal tersebut. Secara pribadi, ia memang lebih senang perkuliahan dengan tetap berinteraksi langsung. Mungkin naluriah sebagai Psikolog, ia lebih senang interaksi tapi memang ada saatnya juga mahasiswa membaca sendiri.

”Kalau saya, interaksi itu tetap penting,” pungkasnya. (duniadosen.com/aw)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RELATED POST

about

Get Started

Hubungi kami

Jl. Rajawali, Gg. Elang 6, No.2 Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, D.I.Yogyakarta 55581

Email : [email protected]

Telpon : 081362311132